Oleh: Dafa Irwanto S.
(TrendiKabar.com) – Bea Cukai Madura kini tampak sibuk. Mereka turun ke lapangan, menyisir warung-warung kecil dan toko kelontong dengan membawa jargon besar: “Pemberantasan Rokok Ilegal.”
Slogan yang terdengar gagah, tapi sayangnya kegagahannya berhenti di depan rakyat kecil.
Instruksi dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memang tegas: peredaran rokok ilegal harus diberantas sampai ke akar. Namun, yang terjadi di lapangan justru menimbulkan tanda tanya besar: kenapa yang disasar hanya warung rakyat, bukan pabrik-pabrik yang menjadi sumbernya?
Apakah aparat Bea Cukai kehilangan arah, atau justru memilih jalan aman mengejar yang lemah, menghindari yang kuat?
Viral: Ibu Kelontong Lawan Petugas
Sebuah video yang viral di media sosial menelanjangi situasi sebenarnya di lapangan. Seorang ibu pemilik toko kelontong terekam kamera CCTV berdebat dengan petugas Bea Cukai dan Satpol PP.
Dengan suara gemetar tapi penuh keberanian, ia berkata:
“Rokok ini milik Haji Her. Saya jual sudah bertahun-tahun. Kalau mau urusan, mari ke rumahnya langsung!”
Nama Haji Khairul Umam alias Haji Her, Ketua P4TM (Paguyuban Pelaku dan Pengrajin Tembakau Madura), muncul dari mulut rakyat kecil bukan dari wartawan, bukan dari aktivis.
Dan di tengah emosi campur takut, sang ibu mengucap kalimat yang mengguncang:
“Saya berani jual, karena katanya Haji Her sudah bayar ke Bea Cukai!”
Kalimat itu bukan sekadar keluhan. Itu adalah testimoni rakyat, yang lahir dari pengalaman, bukan rekayasa. Dan justru karena itu, terasa paling jujur dan paling menyakitkan.
Berani di Rakyat, Takut pada Bos
Kita harus jujur: razia warung kelontong bukanlah solusi, melainkan pertunjukan.
Bea Cukai seakan ingin menunjukkan taringnya, tapi anehnya, taring itu selalu diarahkan ke rakyat kecil bukan ke pabrik-pabrik besar yang jadi sumber produksi rokok tanpa pita cukai.
Apakah aparat benar-benar tidak tahu di mana pabriknya berada?
Ataukah mereka sengaja menutup mata, karena yang berdiri di balik pabrik-pabrik itu bukan orang sembarangan?
Madura tahu betul: rokok tanpa cukai tidak lahir di etalase warung, melainkan di mesin-mesin pabrik yang beroperasi bebas, kadang di balik pagar tinggi, kadang di bawah nama koperasi atau yayasan.
Maka, razia ke warung hanyalah sandiwara moral. Sementara sumber masalah dibiarkan hidup tenang mungkin karena ada “hubungan baik” yang tak tertulis, atau ada “setoran” yang menjaga semuanya tetap diam.
Ada Apa di Balik Diamnya Bea Cukai?
Di banyak daerah di Madura, publik tahu bahwa pabrik rokok “gelap” bisa beroperasi dengan tenang.
Tak tersentuh hukum, tak terganggu operasi, bahkan kadang diduga dapat perlindungan dari oknum tertentu.
Ironisnya, toko-toko kecil justru jadi sasaran: disita, difoto, diunggah, dan dipermalukan di depan publik.
Wajar jika publik mulai berbisik:
Apakah benar ada uang yang membuat aparat memilih diam di depan para bos rokok?
Bea Cukai bisa saja mengeluarkan klarifikasi resmi, berbicara lembut di depan kamera, atau menulis rilis pers panjang.
Namun, nurani rakyat tidak bisa dibohongi. Mereka tahu siapa yang bekerja sungguh-sungguh, dan siapa yang sekadar memainkan peran.
Pesan dari Ibu Penjual: Jangan Rampas Semua
Masih dalam video yang sama, sang ibu sempat berkata dengan suara parau:
“Kalau mau ambil, ambil satu bungkus aja. Jangan rampas semua.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menggambarkan jerit batin rakyat kecil yang hidup di antara kebijakan yang pincang.
Ia bukan sedang membela pelanggaran, tapi sedang memohon keadilan agar hukum tidak selalu menekan yang miskin dan memanjakan yang kaya.
Penutup: Hentikan Teater Moral
Pemberantasan rokok ilegal tidak bisa dilakukan dengan menggertak rakyat kecil.
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menegakkan hukum, mulailah dari hulu.
Datangi pabrik-pabriknya, periksa jaringan distribusinya, dan tindak pemilik modalnya jangan hanya penjaja di pinggir jalan.
Keadilan tidak akan lahir dari aparat yang hanya berani menundukkan yang lemah.
Dan kepada para pejabat Bea Cukai di Madura, ingatlah:
Takutlah kehilangan integritas, bukan kehilangan jabatan.
Sebab di hadapan Tuhan, jabatan hanyalah sementara tapi dosa karena ketidakadilan akan kekal.
Editor : (Red)