Ketika Kritik Jadi Luka: Boikot Trans7 dan Luka Budaya Media

- Publisher

Selasa, 14 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dafa Irwanto S.

(TrendiKabar.com) – Di tengah derasnya arus digital, media kini berlari kencang mengejar sensasi. Dalam kecepatan itu, etika sering tertinggal jauh di belakang. Kasus #BoikotTrans7 adalah salah satu potret paling jelas sebuah benturan antara kebebasan berekspresi dan rasa hormat terhadap nilai-nilai budaya pesantren.

Beberapa hari terakhir, publik gaduh oleh tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang menyinggung kehidupan santri, khususnya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam narasinya, muncul kalimat yang bernada sinis:

“Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok? Kiainya yang kaya raya, tapi umat yang kasih amplop.”

Kalimat itu mungkin dimaksudkan sebagai satire. Namun bagi jutaan santri dan alumni pesantren, ia terdengar seperti penghinaan. Tayangan tersebut dianggap bukan sekadar “kurang sensitif”, melainkan bentuk pelecehan terhadap kehormatan kiai dan nilai adab pesantren yang dijaga turun-temurun.

Tagar #BoikotTrans7 pun membuncah di jagat maya. LBH Ansor turun tangan, menyebut konten itu melanggar etika dan menuntut klarifikasi. Trans7 akhirnya meminta maaf dan mengakui ada kesalahan prosedural dalam produksi. Tetapi luka sosial yang timbul tidak bisa disembuhkan dengan sekadar kalimat maaf.

Karena yang terluka bukan hanya nama baik pesantren, melainkan rasa hormat sesuatu yang menjadi pondasi moral bangsa ini.

Kritik adalah vitamin demokrasi. Namun ketika kritik lahir tanpa empati, ia berubah menjadi racun.

Sayangnya, dalam ekosistem media yang dikuasai algoritma dan rating, kritik kerap bergeser menjadi ejekan yang dibungkus “satire”, dan etika pun dikorbankan atas nama engagement.

Padahal, media seharusnya menjadi cermin masyarakat, bukan kaca pembesar yang memperburuk wajah orang lain.

Dalam konteks Trans7, kritik terhadap kesenjangan sosial antara kiai dan santri sebenarnya bisa menjadi diskursus menarik. Tapi cara penyampaiannya justru menodai nilai yang ingin dikritik. Ibarat memprotes ketidakhormatan dengan cara yang tidak hormat.

Indonesia bukan sekadar negara hukum, tapi juga negara rasa.

Ada nilai-nilai adab, sopan santun, dan kehormatan yang tak bisa diukur dengan logika redaksi semata.

Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan rumah spiritual tempat ribuan santri belajar makna kesetiaan dan ketundukan kepada ilmu. Menyentuhnya dengan kata-kata sembrono sama saja menyalakan api di ladang kering.

Trans7 sebagai media nasional seharusnya punya sistem penyuntingan yang peka budaya bukan sekadar memeriksa naskah secara teknis, tetapi juga menimbangnya dengan empati sosial. Karena satu kalimat yang salah bisa menyalakan bara kemarahan dari mereka yang selama ini memilih diam.

Boikot yang kini digaungkan publik seharusnya dibaca bukan sebagai bentuk kebencian, melainkan teguran moral.

Masyarakat pesantren sedang mengingatkan media untuk kembali ke akarnya: jujur, adil, dan beradab dalam menyuarakan kebenaran.

Namun, publik juga perlu menjaga cara protesnya agar tetap bermartabat. Boikot yang emosional tanpa ruang dialog hanya akan memperlebar jurang antara media dan masyarakat. Yang dibutuhkan bukan saling menghakimi, melainkan saling belajar media belajar menghormati, pesantren belajar menyampaikan aspirasi dengan tenang.

Kasus Boikot Trans7 adalah cermin bagi seluruh industri penyiaran bahwa teknologi boleh berlari cepat, tetapi etika tidak boleh tertinggal.

Media boleh bebas, tapi tidak bebas untuk melukai.

Kritik boleh tajam, tapi ketajamannya harus mendidik, bukan menikam.

 

 

Editor : (Red)

Berita Terkait

Kejati Jatim Kembangkan Kasus Korupsi BSPS Sumenep, Tidak Berhenti pada Empat Tersangka
Empat Tersangka Korupsi BSPS Sumenep 2024 Resmi Ditahan, Kerugian Negara Capai Rp26 Miliar
Bea Cukai Madura: Gagah di Warung, Tumpul di Pabrik?
Kantor Pos Sumenep Akui Pungutan Parkir Hasil Kerja Sama Pusat, Publik Pertanyakan Legalitas dan Transparansi
Kantor Pos Sumenep Kenakan Tarif Parkir, Publik Pertanyakan Legalitas
Satresnarkoba Polres Sumenep Ringkus Warga Gadu Timur Saat Edarkan Sabu di Tegalan
Warga Karangduak Dukung Patroli Rutin Satlantas Polres Sumenep Antisipasi Balap Liar
Satlantas Polres Sumenep Gencar Gelar Patroli Antisipasi Balap Liar Malam Minggu

Berita Terkait

Kamis, 16 Oktober 2025 - 22:04 WIB

Kejati Jatim Kembangkan Kasus Korupsi BSPS Sumenep, Tidak Berhenti pada Empat Tersangka

Selasa, 14 Oktober 2025 - 22:59 WIB

Empat Tersangka Korupsi BSPS Sumenep 2024 Resmi Ditahan, Kerugian Negara Capai Rp26 Miliar

Selasa, 14 Oktober 2025 - 16:57 WIB

Ketika Kritik Jadi Luka: Boikot Trans7 dan Luka Budaya Media

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 09:22 WIB

Bea Cukai Madura: Gagah di Warung, Tumpul di Pabrik?

Senin, 6 Oktober 2025 - 16:46 WIB

Kantor Pos Sumenep Akui Pungutan Parkir Hasil Kerja Sama Pusat, Publik Pertanyakan Legalitas dan Transparansi

Berita Terbaru

Foto ilustrasi: Simulasi suasana razia rokok ilegal antara petugas dan pemilik toko kelontong di Madura (Dok. TrendiKabar.com)

Opini

Bea Cukai Madura: Gagah di Warung, Tumpul di Pabrik?

Sabtu, 11 Okt 2025 - 09:22 WIB