Oleh: Moh. Ilham Alfath K
(TrendiKabar.com) – Aktivitas pertambangan minyak dan gas (migas) di Kepulauan Kangean bukanlah sekadar urusan bisnis. Ini adalah problem hukum, ekologi, dan keadilan sosial yang telanjang di depan mata. Indonesia, sebagai negara kepulauan berciri nusantara (archipelagic state), jelas memiliki kedaulatan penuh atas sumber daya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang sudah diratifikasi. Bahkan konstitusi kita, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, menyatakan dengan terang: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun, apa jadinya jika negara justru lebih tunduk pada kepentingan korporasi migas ketimbang rakyat dan lingkungan?
Ekosistem Kangean: Dirusak atas Nama Investasi
Kepulauan Kangean bukan daratan kosong. Ia adalah ruang hidup yang rapuh sekaligus vital: terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan pesisir yang menjadi sumber nafkah nelayan. Kehadiran tambang migas berarti mengundang bencana ekologis:
1. Pencemaran Laut – Tumpahan minyak dari kebocoran pipa, kapal tanker, atau blowout sumur bukan risiko kecil. Begitu terjadi, terumbu karang hancur, mangrove mati, dan biota laut punah. Butuh puluhan tahun untuk pulih, jika masih bisa.
2. Kerusakan Habitat – Pengeboran, pemasangan pipa, pembangunan dermaga, hingga seismik bawah laut mengacak-acak dasar laut dan mengganggu mamalia laut yang selama ini aman di habitatnya.
3. Ancaman Perikanan – Ketika ekosistem rusak, tangkapan nelayan jatuh. Lebih parah lagi, ikan yang terkontaminasi hidrokarbon bisa berbahaya untuk dikonsumsi. Artinya, bukan hanya perut warga yang kosong, tapi kesehatan mereka pun terancam.
Luka Sosial yang Tak Terhindarkan
Kerusakan ekologis otomatis menjalar menjadi luka sosial:
- Konflik Sosial: Masyarakat dipaksa bersaing ruang hidup dengan korporasi yang dibekingi pemerintah dan aparat. Ketegangan pun menjadi bom waktu.
- Hilangnya Identitas: Nelayan yang kehilangan lautnya kehilangan profesi, sekaligus tercerabut dari budaya maritim yang diwariskan leluhur.
- Ketimpangan Ekonomi: Uang migas mengalir deras ke pusat dan korporasi, sementara warga lokal menanggung biaya kesehatan, kehilangan pekerjaan, dan kerentanan ekonomi.
AMDAL: Harusnya Tameng, Nyatanya Boneka
Di atas semua kerentanan ini, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seharusnya menjadi benteng terakhir. AMDAL bukan formalitas. Ia adalah imperatif hukum dan moral. Fungsinya jelas:
1. Alat Keputusan – Tanpa kajian AMDAL yang menyeluruh, izin tidak boleh terbit.
2. Pencegah Bencana – AMDAL wajib mengatur RKL-RPL, teknologi pencegah tumpahan minyak, hingga mekanisme tanggap darurat.
3. Partisipasi Publik – Warga Kangean bukan penonton. Mereka punya hak konstitusional untuk menolak proyek yang menghancurkan ruang hidupnya.
Namun kenyataan di lapangan? AMDAL diperlakukan seperti sampah administrasi. Kajian teknis minim, partisipasi publik hanya simbolis, dan pengawasan praktis lumpuh. Lebih parah lagi, hadirnya UU Cipta Kerja justru mereduksi standar lingkungan: izin makin mudah keluar, prosedur makin longgar, dan rakyat makin tak berdaya.
Negara yang Lalai, Negara yang Mengkhianati
Jika negara membiarkan tambang migas di Kangean berjalan tanpa AMDAL yang ketat, itu bukan sekadar kelalaian. Itu pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyatnya sendiri. Eksploitasi tanpa proteksi berarti menggadaikan masa depan kepulauan demi keuntungan jangka pendek yang semu.
Kangean bukan titik kecil di peta yang bisa dijual murah. Ia adalah ruang hidup nyata, dengan ekologi yang harus dilindungi dan budaya maritim yang harus dijaga. Ketika negara memilih diam atau berpihak pada korporasi, maka yang tertinggal hanyalah jejak luka panjang: laut yang mati, manusia yang tercerabut, dan generasi mendatang yang diwarisi kehancuran.
Ingat: Konstitusi tidak menulis bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk digadaikan ke korporasi, melainkan untuk kemakmuran rakyat. Pertanyaannya: masihkah negara berdiri di pihak rakyat Kangean, atau sudah sepenuhnya tunduk pada korporasi migas?
Editor : (Red)