Oleh: Fauzi As
Tahun 2055 tercetak di sebuah undangan resmi. Bagi banyak orang, itu mungkin sekadar salah ketik. Tapi bagi saya, itu seperti bisikan kecil dari langit ramalan tentang masa depan seorang perwira: Pangdam V/Brawijaya, Mayjen Rudy Saladin.
Saya memilih percaya bahwa itu bukan kekeliruan, melainkan pertanda. Seakan ada yang berkata: di usia 75, Rudy Saladin akan tetap menjadi cahaya bangsa, masih berdiri tegak, masih relevan, masih membangunkan semangat orang banyak.
Saya mengenalnya dari dekat. Pangdam yang merakyat, yang saya pernah sebut sebagai Ayam Jantan dari Timur. Sebutan itu bukan karena beliau rajin membangunkan anggotanya jam 4 pagi, melainkan karena tiap sikap dan ucapannya mampu membangunkan satu generasi tanpa perlu kopi.
Kalau ayam jantan biasa hanya membangunkan satu rumah, maka Ayam Jantan dari Timur bisa membangunkan satu bangsa.
Hormat yang Merata
Dalam sebuah acara silaturahmi di Balai Prajurit Kodam V/Brawijaya, saya menyaksikan hal kecil tapi sangat besar nilainya. Rudy Saladin menyebut satu per satu nama undangan dengan penuh hormat. Teliti sekali, sampai saya sempat khawatir nama teknisi sound system pun bakal dipanggil.
Pejabat lain biasanya hanya hafal kalimat klasik: “Yang terhormat Menteri…” lalu sisanya diringkas dengan “hadirin sekalian”. Tapi Rudy Saladin tidak. Ia menghargai setiap orang, seolah tiap tamu adalah jenderal di hatinya.
Di situlah wibawa sejati lahir dari kerendahan hati, bukan dari sorotan lampu panggung.
Bintang di Pundak, Rendah Hati di Jiwa
Rudy Saladin punya segudang prestasi: peraih Adhi Makayasa, Tri Sakti Wiratama, pernah menjadi Ajudan Presiden Joko Widodo, menjabat Danrem, Sekretaris Militer Presiden, hingga Pangdam.
Semua jabatan penting itu bagai lemari penuh emas. Tapi di balik semua itu, beliau masih berkata: “Saya butuh saran dan pendapat.”
Itu ibarat orang yang punya lemari emas, tapi tetap merasa hanya punya sendok aluminium. Kontras sekali dengan pejabat lain yang baru dapat piagam lomba tenis meja sudah dipajang sebesar papan reklame.
Tiga Pesan Moral
Yang paling berharga dari Rudy Saladin bukan deretan prestasi, tapi tiga pesan moralnya:
• Cepat Tidak Mendahului
Cepat itu baik, asal tidak jadi tukang salip. Cepat sejati adalah sigap tanpa meninggalkan yang lain. Pemimpin, kata Pangdam, bukan pembalap, tapi pengarah barisan.
• Pintar Tidak Menggurui
Di negeri kita, pintar sering berarti pandai mendikte. Tapi kepintaran sejati adalah membuat orang lain merasa ikut pintar. Ngerti kahanan, kata orang Jawa. Pintar yang membumi, bukan pintar yang membuat orang lain merasa bodoh.
• Tajam Tidak Melukai
Ketajaman pikiran sejati bukan untuk menikam, tapi menolong. Seperti pisau dapur: membelah bawang, bukan menusuk tetangga. Menegur tanpa mempermalukan, mengingatkan tanpa merobek harga diri.
Tiga pesan ini sederhana, tapi sebetulnya kitab kehidupan. Kalau saja dijalankan di ruang politik, mungkin rapat DPR tak lagi jadi ajang lempar kursi, sidang kabinet tak lagi lomba teriak, dan media sosial tak lagi jadi pasar fitnah pemecah bangsa.
Kepemimpinan yang Membimbing
Di usia 50 tahun, Rudy Saladin membuktikan bahwa kepemimpinan sejati bukan soal deretan bintang di pundak, melainkan cahaya di hati. Orang yang berjumpa dengannya merasa sedang bertemu orang tua, guru, bukan sekadar ditegur komandan.
Silaturahmi, struktur, dan senioritas yang ia tekankan bukan untuk menyombong, melainkan untuk menata. Tanpa struktur, organisasi hanya orkestra tanpa dirigen: ramai tapi sumbang. Ia menjaga harmoni, bukan sekadar komando.
Ia benar-benar Ayam Jantan dari Timur. Bukan sekadar berkokok, tapi membangunkan kesadaran. Pesannya sederhana: cepat yang sabar, pintar yang rendah hati, tajam yang penuh kasih.
Kalau semua pemimpin meneladani itu, rakyat tak lagi cemas tiap kali ada pergantian pejabat. Karena yang berkokok bukan jam weker kekuasaan, melainkan hati nurani yang jernih. Saya duduk bersama beberapa tokoh di meja nomor 20, salah satu tokoh berbisik penuh harap, mudah-mudahan Rudy Saladin lima tahun memimpin Kodam V/Brawijaya.
Dan jika undangan itu benar ramalan 2055, saya hanya bisa berharap: di usia 75 tahun nanti, Ayam Jantan dari Timur masih sanggup berkokok bukan sekadar membangunkan orang dari tidurnya, tapi terus membangunkan, merajut bangsa ini dari keterpurukan dan perpecahan.
Editor : (Red)